Al-Fatihah untuk Mereka

2 komentar





Mentari mulai menyingsing, sinarnya menelusuk masuk melalui selarumbia yang membungkus gubuk kecilku. Burung-burung pun bernyanyi melepas segala kesah menambah kesan haru di pagi itu.
            Ku singkapkan kain sarung lusuh itu dari tubuh ku, mengusap wajah dan berdiri sembari melangkahkan kaki ke arah sumber mata air di belakang gubuk ku. Ku benamkan tubuh ku seluruhnya, berharap air itu akan hanyut bersama segala beban hidup yang menyiksa.
            Pagi ini semua berjalan seperti kemarin. Tak ada yang berubah. Aku  mengayuh sepedatua sepeninggalan datuk dulu dengan perasaan hambar. Derikan pedal sepeda menemani perjalanan ku, seakan bersenandung menghibur hidup ku. Jujur saja, aku telah lama ingin memberikan sepeda tua ini ke tempat ronsokan dan menerima beberapa lembar rupiah sebagai gantinya. Tetapi semua itu harus ku sirnakan, toh di dunia ini hanya sepeda tua peninggalan datuk dan gubuk reot itu lah harta ku.
“ Pan ! Nakkemano?”Terdengar suara lelaki paruh baya yang berseru dari balik punggung ku.
Biaso Pak, nak cari karojo untuak makan.” Jawab ku singkat. Pak Komar adalah seorang kepala desa di daerah tempat tinggal ku. Tampak wajahnya tidak beda jauh dengan Rhoma Irama, penyanyi dangdut legendaris Indonesia itu. Menurut ku, Pak Komar juga seorang dermawan yang suka menolong, hanya terkadang ia terlihat angkuh. Maklum saja, bukankah itu memang penyakit bagi para petinggi ?
            Ruspan !Di topi lauik ado kapal baru balabuah, datang la !”
            KapalapoPak ?” Tanya kusambilmemperbaikiarahstanksepeda yang yangsedikitolengakibattertabrakbatu di jalanan.
            “Selais.Copekla !”Perintah Pak Komar sambil menyunggingkan senyum nya kepada ku. Dengan semangat membara ku pacu sepeda reot itu dengan perasaan sumbringah. Di kepala ku sudah terbayang upah untuk pengganjal perut ku hari ini, dan secepat mungkin ku acungkan jempol kurus ku kearah Pak Komar, sambil menebar senyum lebar.
Semoga ini rezeki ku, amin.” Harap ku dalam hati **
*Datukadalahsebutankakekdalambahasamelayu
*Karojoberartikerja
Pelabuhan tampak ramai , penuh sesak dengan orang-orang berjubah seperti ninja yang berdesakan memperebutkan ikan segar yang terletak di atas dek-dek kapal. Pelabuhan ini terkenal dengan kemiringan harganya.
Sepeda itu ku sandarkan di dinding bangunan tua yang tidak jauh dari pelabuhan. Tidak ingin terlalu lama di bangunan ini, aku pun segera berjalan setengah berlari menuju pelabuhan bercampur bersama orang-orang yang juga memperebutkan pekerjaan di sana.
Lantai kapal terasa begitu licin. Banyak punting rokok yang berserakan di sini. Bau arak terasa sangat menusuk hidung, ditambah dengan bau amis dari tumpukan ikan yang menanti untuk segera diangkat menuju para pengepul ikan di tepi laut.
Lebih dari tiga buah kotak besar berisi ikan yang telah ku pindahkan ketangan para pengepul, hanya tinggal satu kotak besar lagi yang harus ku pindahkan dan itu adalah pertanda bahwa pekerjaan ku akan segera berakhir dan upah itu tidak lama lagi akan aku terima. Tidak sabar rasanya, menerima lembaran rupiah itu. Aku berjalan sedikit tergesa-gesa mengangkat kotak besar yang berisi ikan-ikan itu, aku lupa bahwa lantai kapal ini begitu licin. Seketika seluruh tubuhku terbenam di tengah hamparan air asin bersama ikan-ikan yang berserak menyebar ke segala arah.
Aku larut ditengah asinnya air laut. Aku seakan mati. Aku tak sanggup  menggerakkan tangan ku untuk meraih udara di atas permukaan,meminta pertolongan. Kotak-kotak ingatanku berhamburan dari kepala ku, membentuk sebuah reka ulang kejadian dua tahun lalu. Saat itu aku juga tenggelam di tengah laut, aku sama sekali tidak dapat menggerakkan tangan dan kaki ku, dan pada saat itu ku rasa kematian begitu dekat dengan ku. Namun pada saat bersamaan muncul sesosok pria tua yang begitu tangguh menaklukkan air laut. Dengan gerakan seperti kilat, ia meraih tangan ku. Ia menggendong ku dipundaknya. Nafasku terasa telah sampai ditenggorokan. Aku berusaha mempertahankan pegangan tangan ku yang melingkar dilehernya.
Ia membaringkan ku di atas perahu bermesin . Aku benar-benar tidak dapat menggerakkan tubuh ku. Pandangan ku buram. Tiba-tiba terdengar suara mesin yang mengaum. Mesin itu tersangkut papan, pikir ku dalam keadaan setengah sadar. Perlahan suara lirih mengalun pelan diantara gauman suara mesin. Aku berusaha untuk berdiri melihat situasi nya,tetapi tubuh ku terlalu lama merespon perintah dari otak ku. Sekitar 45 menit setelah itu aku baru berhasil mengendalikan tubuhku. Aku merangkak mendekati asal suara . Terlihat jelas wajah lelaki tua yang menahan sakit sambil memegangi pinggiran perahu. Aku berlari mendekati nya. Ku kerahkan tenaga ku untuk menarik tangan nya. Tapi putaran baling-baling mesin perahu itu telah banyak memakan kedua kakinya. Tangisan ku tak tertahan. Ia hanya tersenyum,terlihat jelas banyak harap yang ia ingin katakan, buliran air mata membasahi wajah tirusnya sampai akhirnya mata itu tertutup.Kejadian itu terjadi begitu cepat. Bak badai dahsyat, menegangkan dan berlalu begitu saja.**
Kepala ku terasa sedikit pusing,aku berdiri sambil membersihkan rambut ku dari butiran butiran pasir yang melekat. Aku berjalan menuju sebuah pondok kecil di bawah sebuah pohon kelapa dengan terseok-seok. Ku sandarkan tubuh ku pada dinding nya yang mulai rapuh. Tubuh ku terasa amat lelah. Arus air membawa ku terlalu jauh dari daratan, memaksa ku untuk bergerak lebih gesit dan cepat. Semua itu menghabiskan tenaga ku.
Suara angin memanjakan telinga ku, menghembus di daerah tengkuk dan menyejukkan tubuh ku. Jiwa ku melayang bersama hembusan angin siang itu.
Aku bertemu dengan seorang lelaki paruh baya yang sedang terduduk di pondok kecil tempat aku beristirahat tadi. Lelaki itu memakai pakaian safari, tampil bersih dan terawat. Sepatu yang ia kenakan terlihat mengkilat. Aku rasa ia adalah orang berpendidikan tinggi. Pandangan nya lurus ke depan. Aku duduk sedikit jauh dari nya, karena orang-orang seperti nya pasti tidak menyukai orang yang berpenampilan lusuh seperti ku. Aku dan dia hanya duduk terdiam di pondok kecil ini.
“Nak, siaponamokau?”.Tiba-tibalelakiitumengeluarkansuaranyadanmemalingkanwajahnyakearahku.
“Ruspan Pak.” Jawab ku berusaha terlihat santun didepan nya.
Lelaki itu tersenyum pada ku. Ia mendekati ku. Wajah nya terlihat begitu jelas, tampak ia adalah seorang lelaki lembut yang penyayang. Kulit nya kuning langsat dan bersih, hanya terlihat pucat. Lelaki itu tampan sekali. Aku terpaku memperhatikan wajah nya. Wajah itu seakan tidak asing lagi bagi ku.
Jadilah anak yang beguno Pan.” Suaranya terdengar lirih. Aku tidak mengerti apa yang ia katakan. Berulang kali aku mencoba memahami maksud dari perkataan nya barusan,tetapi itu semua tidak dapat aku nalar kan.
Tiba-tiba terdengar suara isak tangis yang begitu memilukan dari bawah pondok. Tangis nya seakan mengiba untuk diperhatikan. Aku beringsut mendekati asal suara itu, tetapi suara itu semakin menjauh. Dan lelaki itu menyusul mendekati asal suara itu. Ia berjalan nyaris tidak menginjak tanah seakan terbang.
Mereka terdengar begitu akrab. Aku rasa mereka adalah ayah dan anak. Aku tidak ingin ikut campur permasalahan mereka. Aku memilih duduk diam memandang lautan menjauhi mereka. Pandangan ku jauh menerawang ke masa lalu. Aku teringat saat ayah juga membujuk ku ketika aku merajuk ingin di belikan nasi bungkus di sebuah rumah makan ampera. Ayah terlihat begitu sabar membujuk ku, ia menggendong ku dengan tulus dan berkata bahwa ia menyayangi ku dan datuk. Tangis ku tidak berhenti. Aku tetap ingin dibelikan nasi bungkus itu. Aku bosan memakan nasi yang dicampur pisang batu. Aku ingin memakan ayam, sayur gulai dan lain nya. Tetapi Ayah tidak jua mengikuti kemauan ku. Aku berontak saat itu,  Ayah memegangi ku dengan erat.
Ketika telah sampai di rumah, datuk menyambut ku dan Ayah. Datuk langsung mengambil ku dari gendongan Ayah, aku dengar aku bercerita tentang rumah makan amperapada datuk, dan datuk tersenyum pada ku sambil memeluk ku. Aku menangis didalam pelukan hangat atuk sampai akhir nya aku tertidur. Ketika aku bangun, aku tetap berada di pelukan datuk. Tapi rumah ku saat itu sangat ramai. Banyak tetangga yang datang kerumah ku. Air mata datuk jatuh mengenai dahi ku. Para tetangga juga menunjukkan ekspresi yang seperti datuk.
Aku bingung melihat sekitar ku. Mereka semua memelukku dan meletakkan banyak kantung berisi beras di sudut rumah. Beberapa jam kemudian aku baru mengerti, bahwa ternyata mereka semua menangisi kepergian seorang lelaki yang biasa ku panggil “Ayah”.
Suara anak kecil tadi menyeruak hingga kebagian terdalam dari telinga ku. Ia memandang ku sinis. Lelaki berpakaian safari tadi hanya berdiri di sudut pondok. Ia tidak berkata sepatah kata pun.
Siapo namokau diak ?” Tanya ku ramah. Ia hanya diam. Tangis nya semakin menjadi-jadi, dan lelaki itu tetap seperti tadi. Hanya diam mematung tanpa ekspresi apapun. Aku merasa tidak suka melihat tingkah anak kecil itu. Maka aku putuskan untuk pergi dari pondok itu. Aku bersandar di bawah pohon rambutan, dan terdengar kembali suara tangisan yang amat memilukan itu dari balik pohon. Aku mulai jengkel. Anak itu mengikuti ku. Apa keinginan nya? Aku menggerutu di dalam hati.
Semakin aku tidak menghiraukan tangis nya, suara tangis nya semakin menjadi-jadi. Aku mulai risih. Aku berlari bersama angin menjauhi anak itu.
Apo non ndakkau?” Tanya ku sedikit membentak padanya. Ia terdiam sejenak, menundukkan kepala nya sebentar lalu mengangkat kepalanya memandang kearah ku. Aku tidak suka pandangan nya, pandangan nya seakan mengejek ku. Ia adalah anak kecil yang benar-benar tidak sopan. Sorot matanya seakan menantang kepada ku. Mata nya berkata “Kau adalah pecundang”.
Siapo kau? Ngapokau? ” Aku kembali melemparkan pertanyaan serupa padanya dengan nada sedikit membentak.
“Ruspan” Jawab nya kembali membentak ku. Ternyata nama nya sama persis dengan nama ku. Mendengar nama nya aku terdiam sejenak. Ku perhatikan wajah nya dalam-dalam, mengikuti arah lekukan wajah nya. Ia mempunyai tahi lalat di pipi kanan nya, sama persisseperti ku.
Den ndakomuahjadikau! Den ndak non ndakjadianakdurokosomankau!” Anak itu berteriak padaku sambil menagis. Aku tidak mengerti apa yang dikatakan nya, tetapi tanpa ku sadari buliran intan murahan jatuh berhamburan dari sudut mata ku. Hati ku seakan tersayat, begitu pilu mendengar perkataan nya. Aku tertegun sejenak.
Kauurangjahek! Aden ndaknondakjadikau!Den ndak non ndakjadianakdurokosomankau!Ayah den ndak ado ngajaan den duroko. Datuk den baposanjadianaksholeh !”  Suara semakin menyayat hati ku.
Siapo kau? ” Tanya ku lirih.
Aden lahkau! Aden adalahkauyang dulu. Pas kaumasih jadi anak sholeh. Aden tu kau!” Ia berteriak pada ku. Suara nya terngiang di telinga ku, bergelombang di dalam otak ku, menghancurkan banyak kotak-kotak memori di dalam nya. Kepala ku terasa amat sakit.
“Kembali la jadi Ruspan ! Ruspan yang sholeh! Ruspan yang jujur ! ” Bentak nya pada ku.
Aku kembali tertegun. Berusaha mencerna kata-kata nya barusan. Aku sama sekali tidak mengenal nya. Tetapi perkataan nya barusan mengingatkan ku pada hidup ku yang begitu kacau. Aku tidak pernah berniat untuk menjadi seorang pencuri. Jujur, aku juga menginginkan menjadi seorang anak sholeh yang bias sukses. Tetapi himpitan dunia memaksa ku untuk mengambil harta-harta para orang kaya di desa. Aku tau mereka tidak pernah menginfakkan sedikit pun harta mereka kepada anak yatim, dan fakir miskin. Maka dari itu aku mencuri hak ku dari mereka. Aku juga ingin makan seperti mereka. Aku ingin mereka sadar bahwa sebagian dari milik mereka adalah hak ku sebagai anak yatim.
           
Datuk ndak ado mangajaan den jadipancilok ! Kaulupo ?Kaulupo samo datuk yang nontunkausamonjak ayah kaumaninggal?!Kaulupo cam mano datuk bertaruh nyawa ntuk hidup kau?!” Kata anak kecil itu semakin menyudutkan ku.
Aku hanya diam. Aku tidak dapat berkata lebih pada anak kecil ini. Aku benar-benar terpojokkan olehnya. Jujur, aku tidak pernah melupakan datuk, apalagi ayah. Mereka adalah dua sosok terpenting dihidup ku. Air mata ini tidak dapat lagi ku bendung. Semua nya tumpah ruah .
Adenndakpernah non ndakjadi kau! Adenndakpernah omuahjadi somankau!” Ia kembali berteriak pada ku.
Aku menangis terisak. Lelaki berpakaian safari tadi berdiri disamping ku . Ia melihat ku iba. Tidak sepatah kata pun ia keluarkan.
*Somanberartiseperti *Non ndakberartimau *Pancilokberartipencuri. *Nontunberartimengurus. *Cam manoberartisepertiapa. *Baposanberartiberpesan.*Omuahberartimau.

Ia berjalan menuju anak kecil tadi, menggendong nya. Aku semakin terisak melihat mereka. Anak kecil itu kini telah berhenti menangis. Ia kembali menatap ku sinis.
Siapo kalian ? Siapo ? Poi kaliaaan !” Aku berteriak pada mereka. Tetapi tampak nya mereka sama sekali tidak mengindahkan seruan ku barusan. Mereka tetap berdiri di depan ku seperti ingin menghakimi seorang perampok.
Ayah, Upan non ndak jadi cam inyotu ha. Upan non ndak jadi anak duroko !” Anak itu kembali merengek. Lelaki itu diam sambil mengusap wajah anak kecil yang menyebut diri nya Ruspan itu.
Kepala ku terasa begitu sakit. Tubuh ku seakan terguncang begitu hebat. Aku meringkuk di atas tanah sambil menangis. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”. **
Sinar matahari siang menusuk pelupuk mata ku. Aku terbangun. Ada seorang lelaki paruh baya duduk membelakangi ku. Kepala ku terasa amat pusing. Aku meluruskan kaki ku, tidur telentang. Lelaki paruh baya itu membalikkan badan nya sambil tersenyum pada ku.
Pan, nah minum lah duluKata Pak Komar sambil menyodorkan segelas teh panas kepada ku. Pakaian Pak Komar basah kuyup. Terlihat jelas dada bidang nya.
“Bapak yang nolong aku tadi ?” Tanya ku pada Pak Komar. Ia hanya menatap ku, lalu tersenyum. Aku mengerti apa yang ia maksudkan.
Pak Komar membawa ku ke rumah nya. Ia meminjami ku pakaian nya sebagai pengganti pakaian ku yang basah kuyup. Ia mengajak ku duduk di teras rumah nya. Ia menawarkan ku bekerja sebagai penjaga di rumahnya. Aku terdiam ketika mendengar tawaran itu. Pak Komar terlihat begitu baik saat ini. Aku merasa malu pada Pak Komar, terlebih lagi pada diri ku. Selama ini aku telah banyak berbuat salah pada nya.
Seminggu yang lalu aku pernah mencuri telpon genggam milik beliau. Saat itu aku benar-benar buta. Aku di butakan oleh nafsu, telpon genggam nya itu lalu ku jual. Uang hasil pejualan telpon genggam itu ku belanjakan banyak makanan. Aku merasa puas hari itu. Awal nya aku tidak berniat untuk mengulangi hal itu, tetapi aku ketagihan dengan seluruh kenikmatan itu. Dan semenjak itu aku sering mencuri barang-barang milik nya. Aku sungguh malu pada nya.        
“Ayok lah Pan, dari pada kau karojotak jolehcam iko, makan ndak tontu.” Rayu Pak Komar pada ku dengan logat Taluk Kuantan. Aku mengangguk.
“Alhamdulillah. Akhir nya rumah ni bisa juga aman dari maling.” Kata Pak Komar sambil mengelus dada. Aku tersenyum pahit padanya. Aku malu, sungguh – sungguh malu kepada Pak Komar.
Keesokan hari nya, pagi hari sekitar pukul Sembilan, aku pergi mengunjungi pusara Ayah dan Datuk . pusara mereka terlihat sangat tidak terawat. Sudah setahun lebih aku tidak pernah lagi berkunjung ke pusara mereka. Aku dudukdisampingnyasambilmencabutiilalang yang tumbuh diatas tanah kubur mereka. Aku juga tidak lupa membawa bunga rampai untuk ditaburi diatas tanah kubur mereka.
Air mata ku jatuh berlinang di atas pusara mereka. Selama ini aku telah lupa pada mereka. Akulupaakandirikusendiri.
Aku teringat bulan Ramadhan lima tahun yang lalu saat aku masih bisa menjalani Ramadhan bersama mereka. Aku rindu mereka,tetapi rencana Tuhan begitu indah, Tuhan ternyata begitu sayang pada Ayah dan Datuk. Semoga Tuhan memberikan tempat yang layak bagi mereka di sisi-Nya.
A’uzubillahiminas syaaitannirrojim. Bismillahir rahmanirahim. Alhamdu lillahi rabbil alamin. Arrahmanir Rahim. Maliki yaumiddin. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. ihdinash shirathal mustaqim. Shirathalladzina an’amta’alaihin ghairil maghdhubi’alaihim wa ladh-dhalin, amin. (Al-fatihaah)”                          




====== Selesai ======




2 komentar:

Thanks udah dibaca. jangan lupa yah, tinggalin komentar nya disini buat kenang-kenangan di blog aku ;)