Mentari mulai menyingsing,
sinarnya menelusuk masuk melalui selarumbia
yang membungkus gubuk kecilku.
Burung-burung pun bernyanyi melepas segala kesah menambah kesan haru di pagi
itu.
Ku
singkapkan kain sarung lusuh itu dari tubuh ku, mengusap wajah dan berdiri
sembari melangkahkan kaki ke arah sumber mata air di belakang gubuk ku. Ku
benamkan tubuh ku seluruhnya, berharap air itu akan hanyut bersama segala beban
hidup yang menyiksa.
Pagi ini semua berjalan seperti
kemarin. Tak ada yang berubah. Aku
mengayuh sepedatua sepeninggalan datuk dulu dengan
perasaan hambar. Derikan pedal sepeda menemani perjalanan ku, seakan
bersenandung menghibur hidup ku. Jujur saja, aku telah lama ingin memberikan
sepeda tua ini ke tempat ronsokan dan menerima beberapa lembar rupiah sebagai
gantinya. Tetapi semua itu harus ku sirnakan, toh di dunia ini hanya sepeda tua peninggalan datuk dan gubuk reot itu lah harta ku.
“ Pan ! Nakkemano?”Terdengar suara lelaki paruh baya yang berseru dari balik
punggung ku.
“Biaso Pak, nak cari karojo untuak
makan.” Jawab ku singkat. Pak Komar adalah seorang kepala desa di daerah tempat
tinggal ku. Tampak wajahnya tidak beda jauh dengan Rhoma Irama, penyanyi
dangdut legendaris Indonesia itu. Menurut ku,
Pak Komar juga seorang dermawan yang suka menolong, hanya
terkadang ia terlihat angkuh. Maklum saja, bukankah itu memang penyakit bagi
para petinggi ?
“Ruspan
!Di topi lauik ado kapal
baru balabuah, datang la !”
“KapalapoPak
?” Tanya kusambilmemperbaikiarahstanksepeda yang
yangsedikitolengakibattertabrakbatu di jalanan.
“Selais.Copekla !”Perintah Pak Komar
sambil menyunggingkan senyum nya kepada ku. Dengan semangat membara ku pacu
sepeda reot itu dengan perasaan sumbringah. Di kepala ku sudah terbayang upah
untuk pengganjal perut ku hari ini, dan secepat mungkin ku acungkan jempol
kurus ku kearah Pak Komar, sambil menebar senyum lebar.
“Semoga ini rezeki ku, amin.” Harap ku dalam hati
**
Pelabuhan tampak ramai , penuh sesak dengan orang-orang
berjubah seperti ninja yang berdesakan memperebutkan ikan segar yang terletak
di atas dek-dek kapal. Pelabuhan ini terkenal dengan kemiringan harganya.
Sepeda itu ku sandarkan di dinding bangunan tua yang
tidak jauh dari pelabuhan. Tidak ingin terlalu lama di bangunan ini, aku pun
segera berjalan setengah berlari menuju pelabuhan bercampur bersama orang-orang
yang juga memperebutkan pekerjaan di sana.
Lantai kapal terasa begitu licin. Banyak punting rokok
yang berserakan di sini. Bau arak terasa sangat menusuk hidung, ditambah dengan
bau amis dari tumpukan ikan yang menanti untuk segera diangkat menuju para
pengepul ikan di tepi laut.
Lebih dari tiga buah kotak besar berisi ikan yang telah
ku pindahkan ketangan para pengepul, hanya tinggal satu kotak besar lagi yang
harus ku pindahkan dan itu adalah pertanda bahwa pekerjaan ku akan segera
berakhir dan upah itu tidak lama lagi akan aku terima. Tidak sabar rasanya, menerima
lembaran rupiah itu. Aku berjalan sedikit tergesa-gesa mengangkat kotak besar
yang berisi ikan-ikan itu, aku lupa bahwa lantai kapal ini begitu licin.
Seketika seluruh tubuhku terbenam di tengah hamparan air asin bersama ikan-ikan
yang berserak menyebar ke segala arah.
Aku larut ditengah asinnya air laut. Aku seakan mati. Aku
tak sanggup menggerakkan tangan ku untuk
meraih udara di atas permukaan,meminta pertolongan. Kotak-kotak ingatanku
berhamburan dari kepala ku, membentuk sebuah reka ulang kejadian dua tahun
lalu. Saat itu aku juga tenggelam di tengah laut, aku sama sekali tidak dapat
menggerakkan tangan dan kaki ku, dan pada saat itu ku rasa kematian begitu
dekat dengan ku. Namun pada saat bersamaan muncul sesosok pria tua yang begitu
tangguh menaklukkan air laut. Dengan gerakan seperti kilat, ia meraih tangan
ku. Ia menggendong ku dipundaknya. Nafasku terasa telah sampai ditenggorokan.
Aku berusaha mempertahankan pegangan tangan ku yang melingkar dilehernya.
Ia membaringkan ku di atas perahu bermesin . Aku
benar-benar tidak dapat menggerakkan tubuh ku. Pandangan ku buram. Tiba-tiba
terdengar suara mesin yang mengaum. Mesin itu tersangkut papan, pikir ku dalam
keadaan setengah sadar. Perlahan suara lirih mengalun pelan diantara gauman suara
mesin. Aku berusaha untuk berdiri melihat situasi nya,tetapi tubuh ku terlalu
lama merespon perintah dari otak ku. Sekitar 45 menit setelah itu aku baru
berhasil mengendalikan tubuhku. Aku merangkak mendekati asal suara . Terlihat
jelas wajah lelaki tua yang menahan sakit sambil memegangi pinggiran perahu.
Aku berlari mendekati nya. Ku kerahkan tenaga ku untuk menarik tangan nya. Tapi
putaran baling-baling mesin perahu itu telah banyak memakan kedua kakinya.
Tangisan ku tak tertahan. Ia hanya tersenyum,terlihat jelas banyak harap yang
ia ingin katakan, buliran air mata membasahi wajah tirusnya sampai akhirnya
mata itu tertutup.Kejadian itu terjadi begitu cepat. Bak badai dahsyat, menegangkan
dan berlalu begitu saja.**
Kepala ku terasa sedikit pusing,aku berdiri sambil
membersihkan rambut ku dari butiran butiran pasir yang melekat. Aku berjalan
menuju sebuah pondok kecil di bawah sebuah pohon kelapa dengan terseok-seok. Ku
sandarkan tubuh ku pada dinding nya yang mulai rapuh. Tubuh ku terasa amat
lelah. Arus air membawa ku terlalu jauh dari daratan, memaksa ku untuk bergerak
lebih gesit dan cepat. Semua itu menghabiskan tenaga ku.
Suara angin memanjakan telinga ku, menghembus di daerah
tengkuk dan menyejukkan tubuh ku. Jiwa ku melayang bersama hembusan angin siang
itu.
Aku bertemu dengan seorang lelaki paruh baya yang sedang
terduduk di pondok kecil tempat aku beristirahat tadi. Lelaki itu memakai
pakaian safari, tampil bersih dan terawat. Sepatu yang ia kenakan terlihat
mengkilat. Aku rasa ia adalah orang berpendidikan tinggi. Pandangan nya lurus
ke depan. Aku duduk sedikit jauh dari nya, karena orang-orang seperti nya pasti
tidak menyukai orang yang berpenampilan lusuh seperti ku. Aku dan dia hanya
duduk terdiam di pondok kecil ini.
“Nak,
siaponamokau?”.Tiba-tibalelakiitumengeluarkansuaranyadanmemalingkanwajahnyakearahku.
“Ruspan
Pak.” Jawab ku berusaha terlihat santun didepan nya.
Lelaki itu tersenyum pada ku. Ia mendekati ku. Wajah nya
terlihat begitu jelas, tampak ia adalah seorang lelaki lembut yang penyayang.
Kulit nya kuning langsat dan bersih, hanya terlihat pucat. Lelaki itu tampan
sekali. Aku terpaku memperhatikan wajah nya. Wajah itu seakan tidak asing lagi
bagi ku.
“Jadilah anak yang beguno Pan.” Suaranya terdengar lirih. Aku tidak mengerti apa yang
ia katakan. Berulang kali aku mencoba memahami maksud dari perkataan nya
barusan,tetapi itu semua tidak dapat aku nalar kan.
Tiba-tiba terdengar suara isak tangis yang begitu
memilukan dari bawah pondok. Tangis nya seakan mengiba untuk diperhatikan. Aku
beringsut mendekati asal suara itu, tetapi suara itu semakin menjauh. Dan
lelaki itu menyusul mendekati asal suara itu. Ia berjalan nyaris tidak
menginjak tanah seakan terbang.
Mereka terdengar begitu akrab. Aku rasa mereka adalah
ayah dan anak. Aku tidak ingin ikut campur permasalahan mereka. Aku memilih
duduk diam memandang lautan menjauhi mereka. Pandangan ku jauh menerawang ke masa lalu. Aku
teringat saat ayah juga membujuk ku ketika aku merajuk ingin di belikan nasi
bungkus di sebuah rumah makan ampera. Ayah terlihat begitu sabar membujuk ku,
ia menggendong ku dengan tulus dan berkata bahwa ia menyayangi ku dan datuk. Tangis ku tidak berhenti. Aku tetap ingin dibelikan
nasi bungkus itu. Aku bosan memakan nasi yang dicampur pisang batu. Aku ingin
memakan ayam, sayur gulai dan lain nya. Tetapi Ayah tidak jua mengikuti kemauan ku. Aku berontak saat
itu, Ayah memegangi ku dengan erat.
Ketika telah sampai di rumah, datuk menyambut ku dan Ayah. Datuk langsung mengambil ku dari gendongan Ayah, aku dengar aku bercerita tentang rumah makan amperapada datuk, dan datuk tersenyum pada ku sambil memeluk ku. Aku menangis
didalam pelukan hangat atuk sampai
akhir nya aku tertidur. Ketika aku bangun, aku tetap berada di pelukan datuk. Tapi rumah ku saat itu sangat ramai. Banyak tetangga
yang datang kerumah ku. Air mata datuk jatuh mengenai dahi ku. Para tetangga juga menunjukkan
ekspresi yang seperti datuk.
Aku bingung melihat sekitar ku. Mereka semua memelukku
dan meletakkan banyak kantung berisi beras di sudut rumah. Beberapa jam
kemudian aku baru mengerti, bahwa ternyata mereka semua menangisi kepergian
seorang lelaki yang biasa ku panggil “Ayah”.
Suara anak kecil tadi menyeruak hingga kebagian terdalam
dari telinga ku. Ia memandang ku sinis. Lelaki berpakaian safari tadi hanya
berdiri di sudut pondok. Ia tidak berkata sepatah kata pun.
“Siapo namokau diak ?” Tanya ku ramah. Ia hanya diam. Tangis nya semakin
menjadi-jadi, dan lelaki itu tetap seperti tadi. Hanya diam mematung tanpa
ekspresi apapun. Aku merasa tidak suka melihat tingkah anak kecil itu. Maka aku
putuskan untuk pergi dari pondok itu. Aku bersandar di bawah pohon rambutan,
dan terdengar kembali suara tangisan yang amat memilukan itu dari balik pohon.
Aku mulai jengkel. Anak itu mengikuti ku. Apa keinginan nya? Aku menggerutu di
dalam hati.
Semakin aku tidak menghiraukan tangis nya, suara tangis
nya semakin menjadi-jadi. Aku mulai risih. Aku berlari bersama angin menjauhi
anak itu.
“Apo non ndakkau?” Tanya ku sedikit membentak padanya. Ia terdiam sejenak,
menundukkan kepala nya sebentar lalu mengangkat kepalanya memandang kearah ku.
Aku tidak suka pandangan nya, pandangan nya seakan mengejek ku. Ia adalah anak
kecil yang benar-benar tidak sopan. Sorot matanya seakan menantang kepada ku.
Mata nya berkata “Kau adalah pecundang”.
“Siapo kau? Ngapokau? ” Aku kembali melemparkan pertanyaan serupa padanya
dengan nada sedikit membentak.
“Ruspan” Jawab nya kembali membentak ku. Ternyata nama
nya sama persis dengan nama ku. Mendengar nama nya aku terdiam sejenak. Ku
perhatikan wajah nya dalam-dalam, mengikuti arah lekukan wajah nya. Ia
mempunyai tahi lalat di pipi kanan nya, sama persisseperti ku.
“Den
ndakomuahjadikau!
Den ndak non ndakjadianakdurokosomankau!”
Anak itu berteriak padaku sambil menagis. Aku tidak mengerti apa yang dikatakan
nya, tetapi tanpa ku sadari buliran intan murahan jatuh berhamburan dari sudut
mata ku. Hati ku seakan tersayat, begitu pilu mendengar perkataan nya. Aku
tertegun sejenak.
“Kauurangjahek! Aden ndaknondakjadikau!Den ndak non ndakjadianakdurokosomankau!Ayah den ndak ado
ngajaan den duroko. Datuk den
baposanjadianaksholeh !” Suara semakin menyayat hati ku.
“Siapo kau? ” Tanya ku lirih.
“Aden
lahkau! Aden adalahkauyang dulu. Pas
kaumasih jadi
anak sholeh. Aden tu kau!” Ia berteriak pada ku. Suara nya terngiang di telinga
ku, bergelombang di dalam otak ku, menghancurkan banyak kotak-kotak memori di
dalam nya. Kepala ku terasa amat sakit.
“Kembali la
jadi Ruspan ! Ruspan yang sholeh! Ruspan yang jujur ! ” Bentak nya pada ku.
Aku kembali tertegun. Berusaha mencerna kata-kata nya
barusan. Aku sama sekali tidak mengenal nya. Tetapi perkataan nya barusan
mengingatkan ku pada hidup ku yang begitu kacau. Aku tidak pernah berniat untuk
menjadi seorang pencuri. Jujur, aku juga menginginkan menjadi seorang anak
sholeh yang bias sukses. Tetapi himpitan dunia memaksa ku untuk mengambil
harta-harta para orang kaya di desa. Aku tau mereka tidak pernah menginfakkan
sedikit pun harta mereka kepada anak yatim, dan fakir miskin. Maka dari itu aku
mencuri hak ku dari mereka. Aku juga ingin makan seperti mereka. Aku ingin mereka sadar bahwa sebagian dari milik mereka adalah hak ku
sebagai anak yatim.
“Datuk ndak ado mangajaan den jadipancilok ! Kaulupo ?Kaulupo samo datuk yang nontunkausamonjak ayah kaumaninggal?!Kaulupo cam mano datuk bertaruh nyawa ntuk hidup kau?!” Kata anak kecil itu semakin menyudutkan ku.
“Datuk ndak ado mangajaan den jadipancilok ! Kaulupo ?Kaulupo samo datuk yang nontunkausamonjak ayah kaumaninggal?!Kaulupo cam mano datuk bertaruh nyawa ntuk hidup kau?!” Kata anak kecil itu semakin menyudutkan ku.
Aku hanya diam. Aku tidak dapat berkata lebih pada anak
kecil ini. Aku benar-benar terpojokkan olehnya. Jujur, aku tidak pernah
melupakan datuk, apalagi ayah. Mereka adalah dua sosok terpenting
dihidup ku. Air mata ini tidak dapat lagi ku bendung. Semua nya tumpah ruah .
“Adenndakpernah non ndakjadi kau! Adenndakpernah omuahjadi somankau!” Ia kembali berteriak pada ku.
Aku menangis terisak. Lelaki berpakaian safari tadi
berdiri disamping ku . Ia melihat ku iba. Tidak sepatah kata pun ia keluarkan.
Ia berjalan menuju anak kecil tadi, menggendong nya. Aku
semakin terisak melihat mereka. Anak kecil itu kini telah berhenti menangis. Ia
kembali menatap ku sinis.
“Siapo kalian ?
Siapo ? Poi kaliaaan !” Aku berteriak pada mereka. Tetapi tampak nya mereka
sama sekali tidak mengindahkan seruan ku barusan. Mereka tetap berdiri di depan ku seperti ingin
menghakimi seorang perampok.
“Ayah, Upan non
ndak jadi cam inyotu ha. Upan non
ndak jadi anak duroko !” Anak itu kembali merengek. Lelaki itu diam sambil
mengusap wajah anak kecil yang menyebut diri nya Ruspan itu.
Kepala ku terasa begitu sakit. Tubuh ku seakan terguncang
begitu hebat. Aku meringkuk di atas tanah sambil menangis. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”. **
Sinar matahari siang menusuk pelupuk mata ku. Aku
terbangun. Ada seorang lelaki paruh baya duduk membelakangi ku. Kepala ku
terasa amat pusing. Aku meluruskan kaki ku, tidur telentang. Lelaki paruh baya
itu membalikkan badan nya sambil tersenyum pada ku.
“Pan, nah minum lah dulu” Kata Pak Komar sambil menyodorkan segelas teh panas kepada ku. Pakaian Pak Komar basah kuyup. Terlihat
jelas dada bidang nya.
“Bapak yang nolong
aku tadi ?” Tanya ku pada Pak Komar. Ia hanya menatap ku, lalu tersenyum. Aku
mengerti apa yang ia maksudkan.
Pak Komar membawa ku ke rumah nya. Ia meminjami ku
pakaian nya sebagai pengganti pakaian ku yang basah kuyup. Ia mengajak ku duduk
di teras rumah nya. Ia menawarkan ku bekerja sebagai penjaga di rumahnya. Aku
terdiam ketika mendengar tawaran itu. Pak Komar terlihat begitu baik saat ini.
Aku merasa malu pada Pak Komar, terlebih lagi pada diri ku. Selama ini aku
telah banyak berbuat salah pada nya.
Seminggu yang lalu aku pernah mencuri telpon genggam
milik beliau. Saat itu aku benar-benar buta. Aku di butakan oleh nafsu, telpon
genggam nya itu lalu ku jual. Uang hasil pejualan telpon genggam itu ku
belanjakan banyak makanan. Aku merasa puas hari itu. Awal nya aku tidak berniat
untuk mengulangi hal itu, tetapi aku ketagihan dengan seluruh kenikmatan itu.
Dan semenjak itu aku sering mencuri barang-barang milik nya. Aku sungguh malu
pada nya.
“Ayok lah Pan,
dari pada kau karojotak
jolehcam iko, makan ndak tontu.” Rayu Pak Komar pada ku
dengan logat Taluk Kuantan. Aku mengangguk.
“Alhamdulillah. Akhir nya rumah ni bisa juga aman dari maling.” Kata Pak Komar sambil mengelus dada. Aku tersenyum
pahit padanya. Aku malu, sungguh – sungguh malu kepada Pak Komar.
Keesokan hari nya, pagi hari sekitar pukul Sembilan, aku
pergi mengunjungi pusara Ayah dan Datuk . pusara mereka terlihat sangat tidak terawat. Sudah
setahun lebih aku tidak pernah lagi berkunjung ke pusara mereka. Aku dudukdisampingnyasambilmencabutiilalang yang tumbuh diatas tanah kubur mereka. Aku juga
tidak lupa membawa bunga rampai untuk ditaburi diatas tanah kubur mereka.
Air mata ku jatuh berlinang di atas pusara mereka. Selama
ini aku telah lupa pada mereka. Akulupaakandirikusendiri.
Aku teringat bulan Ramadhan lima tahun yang lalu saat aku
masih bisa menjalani Ramadhan bersama mereka. Aku rindu mereka,tetapi
rencana Tuhan begitu indah, Tuhan ternyata begitu sayang
pada Ayah dan Datuk. Semoga Tuhan memberikan tempat yang layak bagi mereka di
sisi-Nya.
“A’uzubillahiminas
syaaitannirrojim. Bismillahir rahmanirahim. Alhamdu lillahi rabbil alamin.
Arrahmanir Rahim. Maliki yaumiddin. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. ihdinash
shirathal mustaqim. Shirathalladzina an’amta’alaihin ghairil maghdhubi’alaihim
wa ladh-dhalin, amin. (Al-fatihaah)”
====== Selesai ======
bagus... :)
BalasHapusbagus... :)
BalasHapus